Gedung Putih Diduga Gunakan AI untuk Hitung Tarif Resiprokal
Washington DC: Judul besar “Reciprocal Tariffs” yang dibentangkan Donald Trump di hadapan awak media Gedung Putih pada Kamis, 3 April 2025, menjadi sorotan luas publik dan media. Pernyataan tarif dasar 10 persen untuk seluruh negara pengimpor, termasuk wilayah tak berpenghuni, menimbulkan kebingungan karena angka-angka tarif spesifik yang diumumkan untuk tiap negara tidak sesuai dengan data resmi Departemen Perdagangan.
Mengutip laporan The Verge pada Kamis, 3 April 2025, formula tarif yang digunakan Trump diduga berasal dari hasil permintaan pada chatbot seperti ChatGPT, Gemini, Claude, dan Grok.
Gambar: Tangkapan layar percakapan ChatGPT tentang tarif. (The Verge)
“Jika kamu meminta ChatGPT menghitung tarif untuk menyetarakan defisit perdagangan bilateral, jawabannya luar biasa konsisten dengan versi Trump,” tulis Dominic Preston dalam laporannya. Semua chatbot utama menyarankan formula serupa: tarif ditentukan dengan cara membagi defisit perdagangan AS terhadap negara tertentu dengan total ekspor negara tersebut ke AS, lalu membaginya dua untuk menghasilkan “diskon tarif resiprokal”.
Ekonom James Surowiecki menyebut pendekatan ini sebagai “omong kosong luar biasa”. Namun, ia mengakui formula itu secara akurat mencerminkan tarif final yang diumumkan Trump.
“Kami tidak tahu apakah tim Trump benar-benar memakai AI untuk kebijakan ini. Tapi hasilnya identik,” ujarnya.
The Verge juga mencatat bahwa meski para chatbot memberikan peringatan akan risiko ekonomi akibat pendekatan sederhana ini, hasil akhirnya tetap konsisten: mereka menyarankan tarif dihitung berdasarkan defisit dan dieksekusi dengan cara yang sangat mirip dengan apa yang diumumkan Trump.
Baca Juga: Defisit Perdagangan Tidak Mesti Berarti Buruk, Ini Penjelasannya |
Platform seperti Gemini bahkan menambahkan catatan bahwa metode ini dapat menghasilkan konsekuensi buruk seperti lonjakan harga dan pembalasan dagang.
Beberapa pengguna X (Twitter) menunjukkan bahwa jika kamu meminta ChatGPT, Gemini, Claude, atau Grok menjelaskan cara termudah menghitung tarif untuk menyeimbangkan defisit perdagangan, mereka memberikan formula yang identik.
Mereka juga menyarankan pembagian dua pada hasil akhir untuk menghasilkan tarif “diskon” yang dinilai lebih masuk akal—mirip dengan yang digunakan Gedung Putih. Grok menyebut metode itu sebagai hasil “wajar”, dan Claude mengakuinya sebagai formula yang tidak sempurna tapi populer.
Gemini memberi catatan keras bahwa meskipun pendekatan ini tampak sederhana, dampaknya bisa kompleks dan berbahaya.
“Sementara perhitungan ini menawarkan cara yang tampaknya mudah untuk menargetkan defisit perdagangan bilateral, implikasi ekonominya jauh lebih kompleks dan dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang substansial,” tulis Gemini. Ia juga mengutip bahwa banyak ekonom tidak menyarankan penggunaan tarif sebagai alat utama untuk menyeimbangkan defisit.
Politico mencatat bahwa formula yang diklaim digunakan Gedung Putih hanyalah versi kosmetik dari rumus yang disusun James Surowiecki, yang pertama kali menyebarkan logika pembagian defisit terhadap ekspor sebagai sumber tarif.
Dalam pernyataan Gedung Putih, Trump menyebut bahwa pendekatan ini akan memulihkan keadilan dan kemandirian ekonomi AS. Namun banyak ekonom dan pelaku industri memperingatkan bahwa tarif tinggi ini bisa berdampak buruk terhadap rantai pasok global, terutama karena berlaku pada seluruh negara termasuk sekutu utama seperti Jepang, Inggris, dan Kanada.
Sejauh ini belum ada konfirmasi resmi bahwa tim ekonomi Trump benar-benar menggunakan ChatGPT atau chatbot lainnya dalam menyusun kebijakan. Namun, kesamaan mencolok antara formula yang beredar dan yang dihasilkan AI membuat publik menduga ada campur tangan teknologi dalam proses pengambilan keputusan strategis di Washington.